Manusia dan Takdir: Menjemput Bukan Menetapkan
Belakangan ini aku mendengar sebuah ungkapan, “Kita itu bertugas untuk menjemput takdir”.
Menurutku ungkapan ini mirip dengan “Manusia cuma bisa berusaha, tapi Allah yang menentukan.” Ini bukan cuma sekadar kata-kata, tapi juga ngingetin kita kalau sebenarnya manusia itu lemah dan nggak bisa ngapa-ngapain kalau udah berhadapan sama kekuatan Allah SWT.
Ikhtiar Manusia
Dalam konsep tauhid ala Aswaja, manusia itu punya peran untuk menjemput takdirnya. Tapi, caranya nggak cuma dengan duduk manis dan nunggu aja. Kita wajib untuk buat ikhtiar—usaha keras. Mulai dari kerja cerdas, profesional, sampai ikhlas. Setelah usaha maksimal, ya tinggal berdoa, minta sama Allah biar takdir yang kita jemput itu bisa tercapai. Nggak lupa, sabar adalah kuncinya.
Di tahap ikhtiar ini, kita mesti bikin perencanaan yang matang. Rencana itu bisa kita ibaratkan kayak niat, makin bagus niatnya, makin kuat juga rencana kita. Setelah rencana matang, tinggal laksanakan sesuai aturan mainnya, SOP-nya, sesuai kepantasan, atau apa pun tata tertib yang ada. Pokoknya, lakukan dengan sepenuh hati sesuai niat awal.
Tentu aja, perjalanan menjemput takdir ini nggak mulus. Kita bakal ketemu banyak tantangan, mulai dari godaan setan sampai hawa nafsu. Kalau nggak bisa nahan diri, ya bisa-bisa takdir yang harusnya bisa kita jemput sepenuhnya, malah cuma kesentuh sebagian doang. Bahkan, ada kemungkinan kita gagal total. Kalau udah kayak gini, masih ada kesempatan buat memperbaiki, remidi, atau reset ulang niat yang mungkin belok.
Ingat apa yang pernah William Edward Deming bilang, buat dapetin sesuatu yang berkualitas atau menjemput takdir, ada proses yang namanya Plan (perencanaan), Do (pelaksanaan), Check (evaluasi), dan Action (tindak lanjut). Siklus ini adalah Siklus Deming atau PDCA. Jadi, kalau belum berhasil, ulang lagi aja sampai takdirnya benar-benar kejemput.
Tawakal
Tapi, kalau udah usaha maksimal dan PDCA berulang-ulang, tetap aja takdir yang kita inginkan nggak kesampaian, kita harus balik ke pemahaman bahwa: “Manusia ditakdirkan, bukan menakdirkan.” Intinya, Allah-lah yang Maha Merencana dan Maha Mengabulkan. Kalau rencana kita sejalan sama rencana-Nya, takdir itu bakal berhasil kita jemput. Tapi kalau nggak, ya artinya takdir yang kita jemput beda sama yang Allah tetapkan.
Baik takdir yang tercapai atau nggak, keduanya tetap dari Allah. Jadi, sebagai hamba yang beriman, tugas kita adalah menerima dan ikhlas atas segala keputusan-Nya. Wabil qadri khairihi wa syarrihi minallahi ta’aala.
Muhasabah Diri
Tulisan ini aku buat sebagai bahan muhasabah diri, sebagai pengingat bahwa apapun urusan maupun hajat kita harus 100% kita niatkan untuk Allah SWT.
Karena selama ini aku sudah berikhtiar dan berusaha untuk menjemput jodoh namun selalu gagal. Bahkan sering kali berhadapan dengan kenyataan pahit yang sebagaimana seorang hamba yang beriman. Harus menerimanya dengan Ikhlas atas segala keputusan-Nya.
Aku belajar untuk selalu berpikiran positif kepada Allah apapun itu kondisinya meskipun itu terkadang terasa berat banget. Yakinlah bahwa apapun yang Allah takdirkan buat kita itu adalah yang terbaik.
Aku juga menyadari bahwa kegagalanku selama ini belum menemukan jodoh adalah sebuah maksud dari Allah untukku terus tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Untuk teman-teman yang masih struggle, kok hajatku belum Allah kabulkan yaa.
Tetap semangat, berdoa dan terus berikhtiar di jalan kebaikan. Yakinlah Allah sudah tetapkan yang terbaik untuk kita, meskipun saat ini kita masih belum bisa melihat kebaikan dari Allah tersebut.
“Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.” – Umar bin Khattab
Silahkan tinggalkan komentar